Phopi Ratna Agustina |
Segudang hobi menantangnya juga mungkin membuat banyak lelaki minder
karena merasa kalah cadas. Bagai menyelami dua sisi, Phopi Ratna
Agustina juga punya hobi memasak dan naluri keibuan yang tinggi.
Sore baru saja beranjak dari kawasan Jalan Sukagalih, Sukajadi, Kota
Bandung. Phopi yang baru menyelesaikan pekerjaannya di Dinas
Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Kabupaten Bandung Barat. Seragam dinas berwarna khaki pun ditanggalkan. Ia menggantinya dengan
jeans dan kaos oblong berwarna hitam. Tak lupa, bandana menghiasi rambut
pendek yang disebutnya ”sudah gondrong” itu.
Setiap Senin hingga Jumat, Phopi Ratna Agustina berangkat bekerja
sekitar pukul 6.30. Dari kediaman keluarganya di kawasan Lembang, Phopi
menempuh perjalanan sekitar setengah jam ke area perkantoran Pemerintah
Kabupaten Bandung Barat di kawasan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat.
Baru pada akhir pekan, ia merasa menjadi Phopi Ratna Agustina yang
sesungguhnya. Jadwal manggungnya bersama band metal hardcore Lose It
All, sudah tersusun rapi. Bukan hanya di area Jawa Barat, dia juga
seringkali harus menyambangi panggung underground di luar Jawa.
”Rasanya kerja kantoran ya mengalami kegiatan yang berbeda tapi
karena motivasi besar dari Mamah, jadinya aku menjalankan itu seperti
ibadah saja. Meskipun butuh adaptasi ekstra karena harus bangun lebih
pagi dan harus bertemu dengan sistem yang terkadang kurang sreg,
sekarang sih udah cukup enak karena team work-nya juga enak,” ucap Phopi
Ratna Agustina memulai obrolan
Menantu idaman mertua
Phopi Ratna Agustina adalah sulung dari tiga bersaudara pasangan N Nurhayati dan Nandang Onang Budiman.
Dia sempat menjadi pegawai salah satu bank swasta yang berkantor di
Jalan Setiabudhi, Kota Bandung. Dia juga pernah bertugas sebagai tim
marketing di Hotel Aston Tropicana, Bandung.
”Pekerjaan kantoran kan harus pakai kemeja, rok, jas, dan selalu
dandan ya. Jadi, kalau udah selesai kerja, langsung ganti baju,”
ucapnya.
Kehadiran kaos (yang sebagian besar) berwarna hitam, celana jeans,
dan sepatu Vans, tak pernah absen dari ransel yang setiap hari
disandangnya.
”Biarin dibilang luarnya cadas juga, yang penting di dalamnya tetap
menjadi perempuan yang berkualitas sambil tidak mengesampingkan hobi,”
katanya setengah bercanda.
Phopi Ratna Agustina yang sangat menggemari offroad, mountain biking, skate board, dan motor trail ini juga memiliki hobi yang feminin.
”Aku tuh suka banget masak, bikin kue. Motong rambut orang juga aku
bisa. Pokoknya, aku andal di segala medan lah, calon menantu idaman
mertua,” ucapnya.
Awalnya menggebuk drum
Sejak kanak-kanak, Phopi Ratna Agustina sudah menunjukkan
ketertarikan di bidang musik. Terpengaruh musik yang sering
didengarkan sang ayah di rumah, dia jadi menggemari musik yang
dibawakan The Beattles dan Rolling Stones.
Saat beranjak remaja, genre musik yang didengarkan mulai meluas. Ia
banyak mendengarkan sajian musik ala Slank, Iwan Fals, Nirvana, Linkin
Park, Limp Bizkit, Slipknot, dan Korn.
”Waktu SMA, baru deh kenalan sama drum. Awalnya, cuma iseng-iseng
bikin band sama teman-teman untuk tujuh belasan. Pas masuk studio, kayak
love at the first sight saja. Aku pikir, boleh juga nih main drum,” katanya sambil tertawa.
Dari yang tidak mengerti bermain musik sama sekali, dia mulai belajar
menggebuk drum secara autodidak. Berbekal melodi ”Zombie” milik The
Cranberries hingga ”Viva Forever” milik Spice Girls, dia mulai mengulik
permainan drum.
Dari situ, dia mendirikan band bersama teman-temannya yang dinamakan Monalisa. Mereka memainkan musik bergenre skate punk.
”Waktu itu, aku dan Monalisa main di mana-mana, mulai dari Dago Tea
House, AACC (Gedung Asia Afrika Cultural Center), juga Saparua.
Beruntung banget di zaman itu masih bisa bermain di tempat-tempat
bersejarah yang sekarang udah dilarang main,” tuturnya.
Sambil berkuliah di Jurusan Manajemen Pemasaran Pariwisata
Universitas Pendidikan Indonesia, dia juga sempat menjadi barista di
Potluck Coffee. Di sana, ia semakin berkenalan dengan banyak orang
Hingga pada suatu hari, tawaran menjadi drummer sebuah band baru mampir
menghampirinya.
Band itu kemudian dikenal sebagai Angsa dan Serigala yang masih
aktif bermusik hingga kini. Bersama enam personel lain, ia memainkan
genre rock folk dan baroque pop. Sebuah irama yang tentu saja jauh
berbeda, dari irama yang dimainkan Phopi Ratna Agustina bersama
Monalisa.
”Memang beda tapi karena aku suka tantangan, aku coba saja. Ternyata aku suka juga. Mungkin karena ada rasa dan passion banget sama musik, jadi semua terasa mudah saja,” ujarnya.
Lose It All
Di pengujung 2008, dia mendirikan band lain bernama Lose It All
bersama teman-temannya. Berbeda dengan perannya di dua band terdahulu,
kali ini bersama Lose It All, dia bertindak sebagai vokalis. Sebagai
vokalis band metal hardcore, sudah pasti hampir seratus persen lagunya
dinyanyikan dengan cara berteriak.
”Radang tenggorokan sudah tidak terhitung. Dari situ, aku jadi banyak mendengarkan sharing vokalis dan mentor lain, sampai sekarang, tidak minum es dan gorengan, olah raga juga harus benar,” tuturnya.
Selama tiga tahun bersama Lose It All, dia merasa bisa melakukan
manajemen waktu dengan baik. Sebisa mungkin, ia mengatur jadwal agar
tidak ada jadwal manggung yang bentrok di antara ketiga bandnya. Sampai
pada akhir 2011, ia dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya
mengatur prioritas.
”Awalnya aku meninggalkan Monalisa. Sedih sih karena aku kan sayang
band aku tapi mau bagaimana lagi. Terus tahun 2013, aku harus
menyelesaikan skrips. Setelah selesai, aku harus keluar dari Angsa dan
Serigala. Jadi, sekarang cuma jalan dengan Lose It All,” ujarnya.
Setelah Lose It All, apakah dia masih penasaran ingin mencoba
bermusik di genre yang lain? ”Sudah terpikirkan olehku. Soalnya aku juga
pernah nyanyi solo. Semoga bisa nyaingin Raisa,” katanya diikuti tawa
lepas.
Segudang hobi menantang
Di atas panggung saat pentolan Lose It All, Phopi Ratna Agustina yang
berwajah imut bertransformasi menjadi perempuan kuat yang cadas.
”Bakat” cadas itu rupanya juga hadir sebagai hobi yang dipilihnya untuk
melarikan diri dari aktivitas perkotaan, mencari inspirasi, atau sekadar
mengisi waktu senggang.
Dia, misalnya, punya naluri petualang yang patut diacungi jempol. Dia
sering kali menjelajah trek ekstrem memasuki hutan, naik dan turun
gunung serta jurang, lalu memilih tebing terjal dan curam, mengendarai motocross.
”Bukan tomboi yah, tapi gentle girl,” ucapnya diikuti senyum.
Bermain skate board juga menjadi pilihannya untuk menenangkan diri.
Sebisa mungkin, ia tak absen dari perhelatan menggelinding bersama
teman-teman skate boarding. Saat manggung ke daerah lain, ia sering kali mengajak skate board-nya.
”Soalnya, skate board kan kecil ya, jadi bisa dibawa ke mana-mana,” ujarnya.
Saat melakoni hobi-hobi tersebut, dia kerap lupa terhadap semua
masalah. ”Rasanya enteng saja, soalnya fokus aku cuma antara aku dan si
motor atau si skate board,” katanya.
Guru
Selain hobi menantang yang dilakukan secara fisik, Dia juga punya
kegemaran yang ”menantang” otak dan jiwa sosialnya. Beberapa tahun
terakhir, dia menjadi guru.
Selain pernah menjadi guru di salah satu SMK untuk jurusan
perhotelan, dia juga terlibat pada misi sosial mengajar anak-anak putus
sekolah yang dilakukan bersama lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa,
UNICEF. Ia mengajar di bidang kuliner dan perhotelan.
”Aku juga punya jiwa melankolis. Kalau ada yang bikin sedih, jadi
bawaannya sedih terus. Apalagi kalau lihat anak-anak yang idak sekolah
karena tidak ada biaya,” tuturnya.
Anak-anak yang menjadi anak ajarnya semakin banyak. Bukan hanya
mengajarkan bidang yang dikuasai, dia juga mengajarkan bidang lain yang
diinginkan anak-anak. Dari jadwal mengajar di hari Senin dan Kamis, tak
jarang dia juga menambah jadwal belajar di akhir pekan.
”Aku sering bertanya, mereka mau belajar apa. Mereka bilang komputer,
ya sudah ayo saja. Kadang juga belajarnya di rumah saya,” ujarnya.
Untuk menyediakan bahan pelajaran, dia seringkali mengambil intisari
dari berbagai sumber yang kemudian dirangkum dengan bahasa sehari-hari.
Bahan itu difotokopinya, lalu dibagikan kepada anak-anak.
”Satu hal yang saya tekankan ke anak-anak, skill dan ilmu itu nomor dua dan tiga, nomor satunya tetap attitude. Karena prinsip saya, hirup mah kumaha pepelakan, proses enggak pernah mengkhianati hasil,” tuturnya.
Selain hobi-hobi itu, sekarang ada hobi lain yang ”menantang” jiwa
femininnya dan sedang giat-giatnya dilakoni. Hobi itu adalah memasak dan
membuat kue. Hobi itu tekun dilakoninya ketika berada di rumah.
”Kalau masak, lebih ke happy saja. Saat orang lain mencoba
masakan kita dan senang, itu juga bikin saya senang. Membayangkan
reaksi orang saat suapan pertama, rasanya menyenangkan,” ucap pencinta
masakan Sunda ini.
Lewat berbagai hobi positif itu, dia juga ingin menyampaikan bahwa tak semua musisi underground lekat dengan stigma negatif.
”Semua bergantung kepada orangnya masing-masing. Hampir separuh umur di musik underground, saya merokok juga tidak. Karena banyak hobi, jadi pergaulan yang jelek-jelek alhamdulillah tidak diikuti,” katanya mantap.(Obz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar